Watchers

2.19.2012

That SNMPTN Undangan Thing.

Sabtu, 12 Februari 2012.

Ada seminar tentang SNMPTN dari Pak Martarizal *CMIIW*, wakil dari Rektorat UI di Aula Balai. Acara ini diselenggarakan oleh BK CMBBS. Di sana dijabarin dengan sangat jelas segala hal tentang SNMPTN, baik undangan maupun tulis.

Dan di sana pula, gue sadar dan pasrah kalau gue mungkin nggak akan ikut SNMPTN undangan. Rengking gue nggak masuk di posisi 50% kelas. Yeeaah, gue bukan termasuk golongan yang ambisius akan nilai. Makanya rengking gue biasa aja. Dan gue pun mulai nyantai kalo gue bakal harus berjuang keras di SNMPTN tulis.

Rabu, 15 Februari 2012.

Devi - yang selama ini bantuin Bu Gun, guru BK CM untuk ngeberesin nilai anak-anak untuk SNMPTN undangan - ngasih kertas ke gue, minta gue ngecek apakah nilai gue udah bener apa belom. Then I saw my scores. Berhubung yang diambil cuma nilai mapel UN dari semester 3 sampai 5, gue langsung mengembangkan senyum. Not bad. Peringkat gue ternyata langsung melejit. Lita pun udah bilang dari berhari-hari yang lalu kalau gue insyaallah bakal dapet kuota untuk SNMPTN undangan. Batin gue tenang. Dengan begini, kans gue untuk masuk UI lebih besar. Tapi semua masih insyaallah. Insyaallah.

Jumat, 18 Februari 2012, menjelang maghrib.

Devi mendadak masuk kamar, banting tas ke atas kasur, terus nangis sesenggukan. Gue yang tadinya lagi main laptop langsung punya firasat: this is all about SNMPTN undangan. Devi berhenti nangis, terus bilang kalau nama-nama yang secara resmi direkomendasikan untuk SNMPTN undangan udah keluar dan ditempel di tengah asrama. Gue langsung menyambar jaket dan jilbab, lalu lari ke tengah asrama. Di sana, beberapa anak udah ngumpul. Ada yang senyum. Ada yang nangis. Ada yang tertawa hampa.

Then I read the paper.
I took a deep breath. 
Then I realized, my name was not written there.

I directly cried.

Yeah, untuk seseorang yang ekspektasinya tadinya sudah dilambungkan, gue rasa wajar kalau gue nangis. Kecewa. Marah. Nggak tahu sama siapa. Pikiran gue berkali-kali bilang kalau ini adalah soal takdir. Bukannya gue selalu minta yang terbaik sama Allah? Dan ketika Allah memberikan hal ini, kenapa gue justru menyangkal?

Tapi tetap, rasa sakit hati dan kecewa itu ada. Dan gue nggak sendirian. Devi merasakan hal yang sama. Peringkatnya tadinya nggak buruk-buruk amat, dan tahu-tahu... namanya juga nggak tercantum.
Gue langsung lari ke kamar Ochi. Dia yang baru bangun tidur masih gelagapan. Gue berdiri di depan dia dan cuma bilang dengan suara tercekat, "Ente siapin berkas dari sekarang. Dan... doain ana biar sukses SNMPTN tulis."

Ochi kaget. Kita selalu punya bayangan kalau kita akan ngurusin berkas SNMPTN undangan bareng, dapet UI dan ITB bareng...

Dia langsung meluk gue. Dan tangis gue pecah lagi. Ochi ke tengah, gue ngikut. Di koridor, Lita, Aul, Tia, dan Ima langsung meluk gue. Aul dan Lita yang udah pesimis dari awal cuma ketawa hampa. Tia sempet nangis juga. Ima emang udah pasrah. Kita akhirnya teriak-teriak nggak jelas, menghibur diri sendiri untuk semangat SNMPTN tulis.

Gue langsung mengabari nyokap. Nggak ada respon.

Gue beringsut, melarikan diri ke kamar sebelah. Mayoritas anak kamar gue direkomendasikan buat undangan, dan nggak tau kenapa ada tekanan tersendiri ketika gue merasakan atmosfer kamar gue. Bukan kebencian, cuma tekanan dan... rasa minder.

Di kamar sebelah, ada Ara, Lita, dan Rani. Mereka mempersilahkan gue untuk jadi pengungsi di kamar mereka, dengan jujur gue ceritakan alasannya kenapa. Feel free, katanya.
Gue lalu membuka agenda UI gue, bagian paling belakang dari bagian notes. Membaca tulisan yang gue buat minggu lalu, di tengah seminar SNMPTN itu.
Gue cuma siswi biasa. Gue nggak pernah masuk rengking 5 besar kelas, bahkan 10 besar pun nggak. Gue nggak pernah dipanggil ke depan pas habis upacara karena menang lomba. Gue selalu kalah, meski sering mencoba. Kemungkinan besar gue nggak ikut SNMPTN undangan. Gue bener-bener cuma siswi biasa.
Average.
Tapi gue yakin, gue akan mendapatkan lebih dari mereka yang biasa di atas. Bukannya gue ngiri, tapi gue percaya, everything has a turning point, because life is a cycle. Someone might be on the top now, but later they'll go down and I'll rise. The history has a turning point. The troll has a u-turn. And I do believe, now I might be on the ground, but later I'll be the brightest star, shining in the sky...

I'll be special.
Outstanding.
Parfait.
Di situ gue percaya, kalau Allah selalu memberi yang terbaik untuk hamba-Nya... dan ini bukan akhir dari segalanya.

I still have my dreams to guide me go through all of this.

La Rochelle. Sorbonne. Leiden. London.

Dan gue pun nggak sendiri :) I still have my great guardian angels behind my back!

Semangat SNMPTN tulis! ;)

Allah selalu memberi yang terbaik untuk hamba-Nya...